dakwatuna.com - Bibit Waluyo mengeluarkan peraturan
gubernur (pergub) kepada Rumah Sakit se-Jawa Tengah tentang larangan
menggunakan jilbab panjang. Peraturan tersebut tentu meresahkan
masyarakat muslim. Sebagai orang nomor 1 di Jawa Tengah, Didik Waluyo
tidak berorientasi pada UU No. 32 Tahun 2004 pasal 13 ayat 1 yang
berbunyi bahwa segala peraturan daerah harus berimplikasi pada
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Larangan
menggunakan jilbab panjang tersebut sampai pada Ketua MUI Solo, Prof.
Dr. dr. KH. Zaenal Arifin Adnan yang menerima pengaduan sejumlah
karyawan muslimah RS di Solo. Peraturan gubernur tersebut menyangkut
hukum SARA. Sesuai dengan UU RI 1945 pasal 28E ayat 1 tertera “setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. Mengenakan
jilbab adalah bagian dari perintah agama Islam. Melarang menggunakan
jilbab sama saja dengan tidak menganggap Islam ada di Indonesia.
Sebagai
negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia layak menjadi
barometer gaya hidup umat Islam. Berdasarkan penelitian
The Pew Forum on Religion & Public Life
pada tahun 2010, Indonesia menduduki urutan pertama dengan penduduk
yang menganut agama Islam paling besar, yaitu 12,7% dari total muslim
dunia. Oleh karena itu, larangan menggunakan jilbab di Indonesia
merupakan kebijakan yang
impossible dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini merupakan sikap anti Islam dan penindasan Islam se dunia.
Kasus
pelarangan menggunakan jilbab oleh pejabat publik, tidak hanya
menghantui warga Jawa Tengah, melainkan juga di daerah lain. Februari
2012 yang lalu, DPRD Surabaya menerima laporan dari beberapa karyawan
dan karyawati di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik
Komputer (Stikom) yang mengadu atas larangan mengenakan busana muslim
(jilbab) di sekitar kampus. Selain itu, pada tahun yang sama, di Cirebon
sekolah Geeta International School juga melarang siswanya menggunakan
jilbab. (Republika.co.id)
Berbagai kejadian demi kejadian
pelarangan menggunakan jilbab juga dialami oleh penduduk muslim di luar
negeri. Tahun 1981, pemerintah Tunisia meratifikasi UU No. 108 yang
melarang wanita muslimah menggunakan Jilbab di lembaga-lembaga
pemerintahan. Menteri Urusan Agama Tunisia, Abu Bakar Akhzouri, bahkan
mengeluarkan pernyataan bahwa jilbab tidak sesuai dengan warisan budaya
Tunisia. Hingga tahun 2006, di sekolah dan kampus dilarang menggunakan
jilbab.
Tidak hanya itu, di Turki, Jerman, Prancis, Inggris,
Mesir, Belanda, Nigeria, Swedia, Spanyol, Maroko, Amerika, Kanada dan
Rusia juga mengalami nasib yang sama. Pemerintah negara- negara tersebut
anti jilbab. Baik di lembaga pemerintah, rumah sakit, sekolah, kampus
hingga di lapangan bola tidak diperkenankan menggunakan jilbab. Karena
jilbab dianggap simbol penindasan terhadap kaum perempuan. Jilbab
menjadi fenomena asing bagi orang- orang yang memusuhi Islam secara
tidak langsung.
Komite PBB berafiliasi pada CEDAW yang turut
campur tangan perihal eksistensi jilbab bagi penduduk muslim. Organisasi
tingkat Internasional tersebut mengaku prihatin atas kerugian apabila
menjalankan ajaran agama, termasuk jumlah perempuan Muslim yang
dikeluarkan dari sekolah dan universitas karena memakai jilbab. Larangan
menggunakan jilbab menjadi permasalahan yang mendunia, alasan yang
melatarbelakangi pelarangan tersebut adalah paham feminisme, kesetaraan
gender dan dianggap diskriminatif terhadap perempuan.
Anehnya,
jika penduduk muslim merasa hak asasinya diabaikan, mengapa justru
mereka merasa ditindas dengan tidak diperbolehkan menggunakan jilbab.
Bukankah saat hak asasi itu diberikan seharusnya mereka merasa gembira?
Dapat disimpulkan bahwa alasan oknum yang anti jilbab tidak rasional
dalam kaca mata kemanusiaan.
Naluriah manusia untuk dapat
menjalankan perintah agama yang dipercayanya secara keseluruhan.
Walaupun terkadang menurut sebagian orang yang melihatnya dalam
menjalankan perintah agama adalah sebuah penindasan, namun tidak bagi
muslim yang paham dengan manfaat menggunakan jilbab.
Jilbab
bermanfaat untuk melindungi perempuan dari gangguan dan agar mudah
dikenal. Karena alamiah apabila seorang laki-laki terangsang melihat
perempuan yang menggunakan pakaian seksi, sehingga Islam mengajarkan
agar tubuh perempuan ditutupi agar tidak diganggu. Jilbab juga
bermanfaat agar antara muslim yang satu dengan muslim yang lain mudah
mengenal. Walaupun jarak tinggal berjauhan antara kutub utara dan kutub
selatan, saat mereka berjumpa mereka akan merasakan persaudaraan sesama
muslim. Aqidah (kepercayaan) mereka mengeratkan jiwa mereka untuk saling
menyapa dan mengenal lebih dekat.
Melawan Hukum Alam
Dalih
yang diungkapkan pihak –pihak yang melarang menggunakan jilbab beracuan
pada hal yang umum, yaitu hak asasi manusia. Menutupi tubuh perempuan
bagi mereka adalah sebuah penindasan, mengekang perempuan dan
merendahkan harkat perempuan. Mereka meninjau dari sisi penyamaan
kedudukan laki- laki dan perempuan. Laki- laki bebas berbusana,
perempuan juga. Laki-laki bebas berprofesi apa saja, perempuan juga.
Lalu dapatkah mereka menyamakan agar laki-laki bisa hamil dan melahirkan
sebagaimana kodrat perempuan?
Dalam perspektif gender, tidak ada
hubungan antara larangan menggunakan jilbab dengan kodrat perempuan.
Sebagaimana laki-laki bebas berbusana, demikian pula perempuan. Jika
para perempuan yang ingin membuka tubuhnya diperbolehkan oleh
pemerintah, lalu mengapa yang ingin menutupinya dilarang. Bukankah
keduanya merupakan hak asasi manusia?
Para stakeholders pembuat
kebijakan publik harus cerdas memilah antara kebijakan yang memberi
manfaat atau yang berdampak buruk bagi masyarakat. Degradasi moral anak
bangsa justru semakin membaik dengan semakin banyaknya remaja putri yang
menggunakan jilbab. Sejalan dengan data yang dirilis okezone.com, Ketua
Presidium
Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane menyatakan penyebab utama pemerkosaan di Indonesia adalah pornografi.
Hal
yang sama juga diungkapkan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Daerah (KPAID) Sumsel, Siti Romlah mengatakan sepanjang tahun 2012
tingkat pemerkosaan terhadap anak meningkat 50% dibandingkan tahun 2011.
Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak belum
tersosialisasi dan ditegakkan. Di dalam UU tersebut jelas tercantum
bahwa sanksi pelanggaran pemerkosaan bisa mencapai lima tahun penjara
dan denda maksimal Rp 200an juta. Namun pada kenyataannya panggang masih
jauh dari api.
Menelisik hasil penelitian
Indonesia Police Watch
(IPW), Bibit Waluyo patut berbangga hati kepada warga Jateng yang
menggunakan jilbab karena secara tidak langsung, merekalah pahlawan
remaja putri. Para jilbabers adalah suri tauladan untuk menekan angka
pemerkosaan dengan tidak berpenampilan secara pornografi maupun
pornoaksi. Bukankah hal yang timpamg jika pahlawan justru diserang
dengan larangan menggunakan jilbab. Sedangkan di luar sana, pelaku
pornografi bebas melenggang seenak syahwat tanpa peduli nasib anak
bangsa.